Sabtu, 09 Februari 2008

Kapitalisme Neoliberalisme dan Agenda Perlawanan ke(Mahasiswa)an

(sebuah ikhtiar untuk Penguatan Karakter Lembaga kemahasiswaan dan konsolidasi Gerakan Sosial Baru untuk pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan)
*) Asranuddin Patoppoi

Organisasi sebagai alat perlawanan
Sebelum lebih jauh, baiknya kita mendefenisikan terminologi gerakan, terkadang ketika menyebut nama gerakan, maka arah pikiran kita adalah aksi ekstra parlementer, pemogokan massal, pawai, unjuk massa, dll. Defenisi tersebut tidak tepat, karena hanya didefenisikan dari satu sisi gerakan itu sendiri. Gerakan didefenisikan sebagai usaha-usaha untuk melakukan perubahan kondisi menjadi lebih baik/ kondisi idealitas yang melibatkan keseluruhan potensi actual seseorang atau kelompok seperti intelektualitas, emosional dan kekuatan pisik Organisasi merupakan merupakan sebuah alat dan pilihan strategis untuk melakukan gerakan, dengan demikian gerakan akan lebih booming ketika dilakukan secara berkelompok dan setiap gerakan akan berhasil jika ditopang oleh sebuah wadah organisasi yang rapi, tersistematis dan konsisten menjalankan tujuan-tujuan organisasi. Pada dasarnya tujuan organisasi merupakan sebuah cita ideal yang dirumuskan secara bersama yang melibatkan intelektualitas dan emosional sehingga pengawalan dengan ketat cita-cita itu adalah merupakan sebuah keharusan dan kemuliaan bagi aparatusnya.

Dalam konteks gerakan kemahasiswaan, lembaga intra universiter merupakan salah satu wadah yang strategis dalam melakukan gerakan-gerakan. Ada beberapa hal yang mendasari, kenapa penulis mengatakan demikian, pertama potensi intelektualitas. Intelektualitas merupakan salah satu yang urgen dalam gerakan, karena meyangkut perumusan tujuan, strategi dan taktik gerakan secara makro. Kedua, pola pikir yang kritis. Sebuah pola pikir yang anti establishment merupakan modal gerakan yang paling revolusioner, karena tidak langsung menerima setiap keadaan yang dilihat dan dirasakannya. Sebuah pola pikir-mencantol pikiran Paulo Praire- yang melewati kesadaran magis dan kesadaran naïf. Pola pikir kiritis bukanlah pola pikir budak (baca: mahasiswa apatis) yang ketika melihat dan merasakan penindasan tidak melakukan usaha untuk keluar dari masalah tersebut. Ketiga, radical dalam perubahan. Terminology radical sering mengalami penyempitan makna, yang berasal dari kata radoks, yang berarti akar, jadi radikal itu merupakan sesuatu yang sangat mendalam (pemahaman yang mengakar). Dalam konteks gerakan, maka gerakan radikal adalah gerakan yang sungguh-sungguh memperjuangkan ide-idenya. Kemudian yang ke empat adalah basis massa yang jelas. Kekuatan massa mahasiswa merupakan massa yang relative mudah disentuh melalui pikiran-pikiran sehingga untuk pemobilisasian (dimensi pisik gerakan) relative cepat.
Wadah kemahasiswaan merupakan “salah satu” untuk media gerakan untuk perjuangan hak-hak sipil/rakyat seperti keadilan (politik, hukum, ekonomi), kemanusiaan dan demokrasi dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari sisi ekonomi, politik, social, kebudayaan sampai apek ketahanan/ kekuatan negara. Sengaja saya memblok, memiringkan dan memberi tanda petik, agar diperhatikan dan dilakukan upaya penghayatan terhadap kondisi gerakan kemahasiswaan kekinian, agar tidak terjadi fasisme dan disorientasi dalam tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri. Menurut aku, wadah lembaga kemahasiswaan tidak boleh terlepas dari terminology gerakan. Sehingga segala potensi lembaga-lembaga kemahasiswaan intra (maupun ekstra) diarahkan untuk upaya perbaikan kondisi kekinian yang dialami bangsa ini yang sudah jatuh dari keterpurukan, keambrukan, patologi atau kemabukan social. Dengan demikian karakter diperlukan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan. Ngomong masalah karakter, maka berbicara tentang identitas yang suci yang melekat pada organ atau tubuh manusia. Karakter merupakan suasuatu yang inheren pada kedirian manusia. Dalam terminology Bugis-Makassar (maaf bukan karena primordialisme) kata manusia identik dengan tau. Tau merupakan predikat nilai/karakter pada makhluk yang berakal. Tau mempunyai arti antara niat, ucapan dan tindakan harus sama. Dan sepenjang pengetahuan aku, antara tau dan tai (baca: tinja) itu beda. Karena lembaga kemahasiswaan bukan disi oleh binatang maka lembaga kemahasiswaan diisi oleh karakter-karakter manusia seperti; sikap dan perilaku independensi, intelektual-kritis-solutif, moralitas-spritual. Atau setidaknya pilihan independensi sesuatu yang mutlak pada gerakan. Independensi merupakan terma yang berasal dari kata independent yang berarti merdeka, atau bebas. Jadi independensi adalah suatu sikap yang tidak tergantung pada siapapun (baca : selain Dia). Dalam wilayah gerakan kemahasiswaan berarti bahwa gerakan mahasiswa, termasuk individu mahasiswa merupakan makhluk yang tidak tertikat atau tergantung pada donor/uang, pulsa seseorang atau sekelompok barisan tertentu yang mempunyai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Modal yang kedua adalah gerakan mahasiswa tentunya intelektualitas. Intelektual dalam terminology Ali Syariati adalah insan-insan rausyan fikr atau dalam bahasa Antonio Gramski, intelectual organic yakni intelektual yang berpihak pada kepentingan-kepentingan rakyat. Intelektualitas adalah merupakan milik rakyat yang harus diabdikan kepadanya. Intelektualitas yang mempunyai arah untuk upaya-upaya solutif terhadap perbaikan kondisi yang jauh dari konsepsi idealitas. Yang ketiga adalah sebagai kekuatan atau benteng moralitas. Ketika moralitas para pengambil kebijakan mayoritas bobrok, maka mahasiswa yang diidentifikasi sebuah makhluk yang relative bersih dan terlepas dari kepentingan politik tertentu maka berkewajiban untuk melakukan peringatan terhadap mereka yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pasar (kapitalisme-neoliberal) dan kepentingan golongan.

Kapitalisme-neoliberal (globalisasi)adalah mitos
Perbincangan mengenai neoliberalisme (globalisasi) merupakan bukanlah wacana baru. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini pun bermunculan. Diberbagai media dan ucapan kaum globalis internasional dan domestik dengan berbagai argumentasi menganggap bahwa hanya sistem inilah satu-satunya cara untuk kesejahteraan dunia dan ummat manusia. Tetapi disisi yang lain para aktivis penentang globalisasi ini menganggap bahwa sistem ini tidak lebih dari bentuk baru dari penindasan/penjajahan (neo-kolonialisme). Sejak awal kemunculan globalisasi –dibidang sosial ekonomi--dipandang sebagai keniscayaan untuk kesejahteraan ummat manusia. Tetapi pertanyaan ekonomi-politik yang mesti dijawab adalah “Apakah globalisasi menguntungkan? Kalau ya, menguntungkan siapa dan apakah ada yang menanggung rugi atau membayar biaya globalisasi tersebut? Apakah globalisasi menjamin bahwa satu kelompok negara diuntungkan dan yang lainnya tidak dirugikan?”, “Apakah globalisasi itu memang persaingan bebas, tanpa intervensi negara? Dan yang teakhir adalah bagaimana kita harus memahami sosok globalisasi itu ?
Dalam menjalankan agenda neolib, para globalis dengan sangat yakin bahwa pemenuhan kesejahteraan dunia dan ummat manusia hanyalah dengan tatanan ekonomi-neoliberal, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi harus dipacu, kita tumbuh dahulu, kue menjadi sangat besar, baru dibagikan secara merata. Dengan asumsi demikian maka kita perlu utang luar negeri, perlu modal dengan penanaman modal asing, perlu investasi, dll. Dan dengan keyakinan adaya mekanisme nenetes kebawah (trickle down effec), bahwa setelah para pelaku-pelaku aktif dari eknomi ini telah berhasil baru kekayaan tersebut didistribusi kerakyat. Dan perlu diingat bahwa utang tersebut adalah milik rakyat, jadi harus rakyat yang bayar. Alhasil, sangat sedikit yang dinikmati oleh rakyat pada masa Orde Baru dan penderitaan rakyat yang dialami hingga sekarang (Awalil Rizky, Agenda Neoliberalisme di Indonesia: 2006). Tetapi yang diuntungkan dalam dalam proses pasar ini adalah hanya bagi para pemilik modal raksasa itu sendiri dan para cukong-cukong kapitalis domestik .
Proses globalisasi ekonomi dan keuangan menggiring semua elemen kehidupan dan pranata-pranata untuk masuk secara langsung atau tidak langsung didalamnya. Acuan seluruh perkembangan institusi dan batasan bidang-bidang sosial ekonomi nasional adalah arah proses globalisasi itu sendiri. Dengan demikian kelihatannya proses globalisasi ini tidak terhindarkan bagi individu, masyarakat dan negara untuk secara mandiri menentukan arah dan strategi pembangunan nasionalnya.
Tetapi proses ini sesungguhnya bukanlah tanpa kendali (Didik J. Rahbini: 2001), karena aktor-aktor global yang menguasai modal seperti TNCs, TMNCs yang mengatur segala aktivitas ekonomi mulai dari prodak-prodak komsumsi, rumah tangga, barang elektronik sampai otomotif. Integrasi kedalam pasar yang semakin dalam dilakukan dengan dominasi lembaga-lembaga keuangan, investasi dana, dan pialang dibursa dalam sistem ekonomi dan mempengaruhi sistem keuangan suatu negara. Pada dimensi inilah globalisasi menyentuh sistem dan istitusi negara, dan dapat mensubordinasi sistem sosial politik suatu negara, institusi parlemen, kepresidenan, dll yang dengan mudahnya dipengaruhi oleh proses globalisasi.
Gagasan-gagasan pokok dari neoliberalisme adalah, pengembangan kebebasan individu untuk bersaing dipasar, pengakuan kepemilikan pribadi terhadap sektor-sektor produksi dan jasa, penertiban agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan beberapa agenda-agendanya seperti liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja negara (pengurangan dan penghapusan subsidi), dan privatisasi BUMN, dll. Jadi disini peranan negara menjadi kerdil/stateless (Eko Prasetyo :2005), negara hanya cukup menjadi wasit yang baik untuk menyaksikan persaingan antara usaha-usaha rakyat dengan para pelaku bisnis internasional yang berkalobarasi dengan pebisnis domestik yang mempunyai modal yang besar. Gagasan dan agenda tersebut agar dapat berjalan dengan lancar, maka mereka melakukan dengan cara yang sangat halus dengan pertama, melaui penjelasan akademis tentang keuntungan-keuntungan yang diperoleh ketika kita berintegrasi dengan pasar sampai pada bantuan teknis termasuk pelatihan-pelatihan sistem ekonomi pasar seperti yang telah dilakukan oleh ekonom barkeley atau mafia poros Washinton (Awalil Rizky: 2006). Kedua, pendiktean kebijakan yang harus dijalankan negara sedang berkembang (NSB) seperti perundang-undangan atau perpres (UU Migas, UU pengelolaan sumber daya Alam, perpres 36/2006, dll), dll yang disepakati melalui perjanjian dengan IMF (Internasional Moneter Fund) yang dikenal dengan LoI (Letter of Intent) dan harus dijalankan sebagai syarat untuk menambah posokan utang untuk pasokan devisa karena akibat krisis keuangan. Dan kesmuanya akan menagrah pada pengecilan peranan negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara sebatas menjadi wasit dalam persaingan, penjamin keamanan, pemberlakuan hukum untuk ketertiban dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan darurat. Pasarlah yang kemudian menetukan tentang apa saja: apa yang diproduksi dan berapa banyak, berapa banyak yang bekerja ini berarti berapa banyak yang harus menganggur, berapa upahnya, dan siapa yang menikmati dari pertumbuhan ekonomi. Dan ini berarti bahwa tidak ada jaminan negara terhadap kondisi yang dialami oleh rakyatnya yang bekerja disektor perburuhan. Yang dijanjikan adalah jika dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semuanya akan sejahtera, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Dan akan bermuara pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat akan diabaikan oleh negara, pendidikan semakin mahal, terjangkau, kebutuhan harga bahan makanan yang melonjak, perumahan yang tidak terjangkau, penggusuran, dll (Eko Prasetyo: 2005).
Gagasan pokok dari kapitalisme-neoliberal berasal dari akar pemikiran tokoh-tokoh filsafat Inggris (Manfred B Stringger, Globalism The New Market Ideologi:2002), seperti Adam Smith (1723-1790) yang mempunyai gagasan tentang homo economicus, berpandangan bahwa masyarakat terdiri dari individu yang bertindak sesuai dengan kepentingan ekonominya dan kegiatan ekonomi dan politik sama sekali terpisah sehingga peranan negara dalam ekonomi akan merusak sistem atau mekanisme pasar. Pasar dengan sendirinya akan mengikuti hukum permintaan dengan penawaran yang disebut mekanisme otomatis (self regulation). David Ricardo (1772-1823) yang berpandangan bahwa perdagangan bebas akan sama-sama menguntungkan, sehingga setiap negara mengkhususkan diri untuk memproduksi barang dan jasa tertentu dan dapat memberi keuntungan komparatif terhadap negara lain yang memproduksi barang dan jasa tertentu yang lain. Ia menambahkan bahwa spesialisasi perdagangan akan tetap meningkat, meskipun suatu negara memiliki keuntungan yang lebih banyak ketika ia dapat memproduksi barang yang beragam. Ini secara politis melahirkan argumen yang sangat kuat untuk membatasi peran negara dalam hal produksi barang dan jasa yang lebih banyak jenisnya, meskipun negara itu mampu secara SDA. Pandangan ketiga dari Herbert Spencer (1820-1903), yang menguatkan teori evolusi seleksi alam Darwin. Ia mengatakan bahwaekonomi pasar merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antar manusia secara alamiah dan menempatkan posisi yang palig kuat sebagai pemenang. Ia pula sebagai pendukung kapitalisme awal yang membatasi tugas negfara hanya untuk melindungi individu dari agresi internal dan eksternal ronrongan dari individu lain. Dari ketiga tokoh tersebutlah lahir tentang gagasan-gagasan sebuah sistem ekonomi yang senantiasa berkembang dengan nama yang berbeda-beda, tetapi tetap mengarah pada pengakumulasian modal pada kelompok tertentu.
Dengan demikian, cara memahami yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan mencermati relasinya dalam konteks historis, kemudian melihat bagian apa saja yang dari masing-masing pengertian tersebut yang tidak mengalami perubahan yang berati. Bisa pula ditarik kesimpulan yang bersifat filosofis tentang pandangan-pandangan dasarnya, jika memahaminya sebgai ide. Atau mengidentifikasi dasar-dasar dari struktur sosial ekonominya, jika melihatnya sebagai sebuah sistem ekonomi dan politik.
Gerakan Mahasiswa, GSB dan kapitalisme-neoliberalisme
Ternyata sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal di Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem penjajahan yang dijalankan oleh kolonialisme yang dijalankan Belanda dan sistem ekonomi pembangunanisme yang dijalankan oleh Orde Baru. Kenapa kita mesti menolak? Ada beberapa alasan, yang pertama bahwa sistem kapitalisme terbukti menguras kekayaan alam kita, hasil kekayaan alam dilarikan keluar negeri, kedua, pengakumualasian modal/ uang hanya pada segelintir orang atau hanya kelompok kapilalis, ketiga, terjadinya persaingan secara bebas antara rakyat dengan pelaku ekonomi negara-negara maju yang ditopang oleh negaranya, sehingga akan mematikan usaha-usaha dalam negeri, keempat, negara tidak mempuyai kedaulatan penuh terhadap penentuan kebijakan, tentunya akan beribas pada, bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD ’45 yang menginginkan kedaulatan ekonomi harus diarahkan pada sistem ekonomi kerakyatan. Jadi ini berarti tidak ada kemandirian atau kedaulatan ekonomi Indonesia. Perubahan dimensi ekonomi politik suatu negara akan segera mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Konsep ekonomi liberal mendorong pola komsumsi yang sangat menggila pada masyarakat (Makmuralto: 2006), sehingga masyarakat hanya dipandang sebagai lahan untuk menjajakan hasil-hasil produksi.
Dengan analisa sederhana bahwa ada tiga kekuatan (birokrasi pemerintahan, elite politik); kekuatan rakyat, modal dan negara. Dalam konsep neoliberalisme negara hanya berfungsi sebagai wasit pasar, justru akan semakin memarginalkan posisis rakyat disatu sisi dan lainnya akan semakin menguntungka modal. Jadi rakyat posisinya tidak terlindingi, hak-haknya tidak diperhatikan oleh negara akhirnya akan berada pada posisi subordinasi, termarginalkan secara struktur.
Dalam proses globalisasi ini kita dapat memetakan sikap-sikap umum, yang pertama penganut. Meraka adalah orang yang secara sadar menggabungkan diri pada proses tersebut, seperti globalis internasional, cukong kapitalis domestik, para pekerja profesional (para bangkir dan ahli-ahli keuangan), kalangan akademisi, atau ekonom yang secara sadar mengakampanyekan kebaikan dan kemanisan neoliberalisasi. Serta kalangan politisi yang in power yang membutuhkan modal untuk mempertahankan kekuasaannya. Kedua, pendukung yang kurang sadar, yakni masyarakat umum minoritas yang bisa survive, pengusaha-pengusaha menengah, yang mendapatkan sedikit keuntungan. Yang ketiga adalah korban, mereka yang dipaksa secara sistematis untuk mendukung, seperti mayoritas rakyat, para buru, petani, pedagang-pedagang kecil, dll. Yang kelima adalah penentang, yang masih bersifat individu dari berbagai kalangan dan secara terorganisir yang baru dalam tahapan embrio perlawanan yang menyadari adanya kesalahan yang dilakukan oleh sistem pasar ini.
Dengan melihat pemaparan diatas, maka posisi gerakan mahasiswa adalah melakukan pembelaan terhadap dominasi kekuatan pasar yang tidak adil dan eksploitatif. Dalam menjalankan agenda perlawanan atau pembelaan mahasiswa terhadap kaum lemah dan terpinggirkan secara sistemik, maka pilihan pilihan strategi dan taktik diperlukan dengan membentuk aliansi-aliansi yang sifatnya ideologis, idealistis, strategis atau taktis dengan berbagai ranah kehidupan dengan bentuk aksi-aksi penetangan terhadap pengurangan atau pencabutan subsidi rakyat, menetang privatisasi BUMN, mengkritisi APBN/ APBD yang pro-pasar, advokasi korban neoliberalis, mengkritisi berbagai peraturan dan perundang-undangan, termasuk rancangannya yang mengarah pada pasar, mempertahankan dan konsisten terhadap pelaksanaan pasal 33 UUD ‘1945, dll.
Maka mau atau tidak ketika mahasiswa sebagai salah satu bagian dari gerakan pembela rakyat, maka dibutuhkan aliansi-aliansi untuk melakukan perlawanan secara massal terhadap neoliberalime. Konsep atau gagasan gerakan sosial baru, bisa menjadi tawaran terhadap perlawanan secara massif tersebut. karena pada dasarnya GSB ini tidak terpatok ideologi, tetapi lebih terbuka terhadap aliansi-aliansi yang sifatnya tidak mengikat dan lintas sektoral geografis, agama, suku, dll yang sepanjang adanya kesadaran bersama bahwa sistem kapitalisme-neolib ini adalah penyebab utama (causa prima) dari kemerosotan sosial, ekonomi dan penderitaan rakyat. Model gerakan GSB yang menekankan pada penguatan cultural dan sesekali melakukan gerakan politik ini berhasil dilakukan dengan baik oleh gerakan rakyat/masyarakat adat Chiapas di Meksiko dan beberapa negara-negar di Amerika Latin, Venezuela, Bolivia, dll yang berhasil mengubah tatanan negara yang sebelumya mengabdi pada Neoliberalisme Sebagai individu gerakan ini meliputi sikap dan cara hidup (life stile) tidak konsumeris dan hedonis atau tidak merasa tergantung pada sesuatu hal yang sifatnya materialis. Kejahatan yang besar dari kapitalisme neoliberal adalah bukan semata-mata karena mereka menindas dan menyengsarakan rakyat tetapi mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara jahat untuk mengeksploitasi rakyat. Pimpinan tetinggi revolisi gerakan Zapatista, Subcomandante Insurgente Marcos (1994) mengatakan bahwa kami tidak ingin orang lain, entah itu kanan, entah tengah, ataukah kiri yang memutuskan nasib kami. Kami ingin berperan langsung dalam putusan-putusan yang mempengaruhi kami, untuk mengontrol mereka yang memerintah kami, tanpa menghiraukan afiliasi politik mereka dan mewajibkan mereka untuk memerintah dengan patuh. Kami berjuang bukan untuk menggulingkan kekuasaan, kami berjuang untuk demokrasi, kebebasan dan keadilan. Adakah elite negara dinegeri ini yang bisa seberani melakukan perlawanan terhadap dominasi kapitalis neoliberal Amerika Serikat dan sekutunya ? seperti yang dilakukan oleh Subcomandante Marcos (Meksiko), Ahmadidenejad (Iran), Moamar Kadafi(Libya), Evo Morales(Bolivia), Hugo Chaves(Venesuela), Videl Castro (Kuba).

*) Kabid PTK HMI Cabang Makassar Periode 2005-2006




Tidak ada komentar: