Selasa, 29 Juli 2008

Klarifikasi HMI MPO Cabang Makassar terhadap kasus “Islah” di Palembang

Islah dalam Islam merupakan suatu hal yang sangat mulia karena asosiasinya mengarah kepada terbentuknya suasana damai dalam bingkai persaudaraan. Pada tataran ini nuansa peleburan diri akan membawa efek langsung yang harmonis antara sesama. Sehingga dengan demikian islah menjadi sangat ideal utamanya dalam proses syiar Islam.
Tetapi pada tataran yang lain, ketika islah dijadikan instrument kepentingan golongan tertentu, yaitu kepentingan kekuasaan, maka tentu islah yang demikian kontra produktif dengan makna idealnya. Islah yang dimunculkan sarat dengan intrik politis atau islah sebagai komoditas politik, pastinya jauh dari ideal.
Islah sendiri derivasinya datang dari Nabi Muhammad SAW, sehinngga kata tersebut bukanlah hal yang baru.
Merespon “islah” HMI Dipo dan MPO, maka ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi
1. Bahwa islah yang menjadi klausul konvensi adalah islah pada tataran konsepsi kesepakatan untuk berdamai, sebagaimana ajaran Islam yang melarang umatnya bermusuh-musuhan. Pada konteks ini,pemaknaan HMI MPO terhadap islah yang telah dilakukan tersebut adalah islah pada tataran moral, yaitu hasrat berdamai dalam makna yang umum.
2. Dalam tataran khusus, HMI MPO tidak memaknai islah Palembang sebagai penggabungan organisatoris atau peleburan lembaga menjadi satu karena jika hal tersebut dilaksanakan maka mesti melewati prosedural organisasi. Media cenderung keliru menginterpretasikan islah yang terjadi di Palembang.
3. Islah yang diusung dipalembang ada kemungkinan dimainkan sekolompok elit politik untuk kepentingan pemilu 2009,
4. Islah yang diusung HMI_MPO dan HMI DIPO tidak murni lahir dari kesepakatan HMI MPO-HMI DIPO
5. Syahrul (Ketua Umum PB HMI) sendiri membantah bahwa dirinya tidak mengusung islah organisasi, tapi islah yang dimaksud adalah islah moral sebagai syiar islam, dan bantahan ini diungkapkan didepan MSO PB HMI
6. Kami secara tegas menyatakan islah secara konstitusi tidak akan lahir di luar forum kongres HMI MPO.

Demikian pernyataan kami sebagai salah satu wujud pengabdian kita kepada Allah SWT dan lembaga HMI

Billahi Taufik Wal Hidayah,

Makassar, 27 Rajab 1429 H
30 Juli 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG MAKASSAR


BAHTIAR ALI RAMBANGENG
KETUA UMUM



Sabtu, 05 April 2008

MANUAL ACARA DAN MATERI SIMPOSIUM NASIONAL SEJARAH HMI

Manual Acara dan Materi Simposium Nasional Sejarah HMI


HARI I : KAMIS 01 MEI 2008
WAKTU MATERI PEMBICARA
15.00 –20.00 Registrasi peserta Organization Committee
20.00 –24.00 Penjelasan Umum tentang Simposium Sejarah HMI Pengurus Besar HMI
24.00 - Istirahat
HARI II : JUM’AT 02 MEI 2008
07.00 –08.00 Checking Peserta
08.00 –09.00 Pembukaan Simposium Petugas
09.00 –12.00 Stadium General : "Refleksi Perjalanan HMI diantara masa lalu Kini dan akan datang “ 1. Surakhmat S.Kom
(Pengurus Bersar HMI periode 2007-2009)
2. Ir. H. Aziz Qahhar Muzkkar
( Ketua BADTIM HMI 1979 – 1981 )
3. H. Tamsil Linrung
( Mantan Ketua Umum PB HMI)
12.00 - 13.00 ISHOMA
13.00 –15.00 Presentasi Sejarah Lokal masing - masing Cabang HMI Delegasi Cabang
15.00 –15.30 ISHO
15.30 –17.00 Lanjutan Presentasi
17.00 –19.30 ISHOMA
19.30 –21.30 Materi I : “metode penulisan sejarah HMI ( Historiografi ) 1. Prof. Dr. Qasim Mathar
( Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri )
2. Awalil Rizky
( Ketua Badko Jateng 1990 – 1992)
21.30 –23.30 Materi II : “ Latar belakang berdirinya HMI “ 1. Chumaidy Syarif Romas
(Ketua Umum PB HMI 1977 – 1979 )
2. Amir Fakihuddin
( Ketua Umum Cabang makassar Periode 1987 – 1988 )
23.30 –24.00 Rangkuman materi I dan II
24.00- Istirahat
HARI III : SABTU 03 MEI 2008
07.00 –08.00 Checking Peserta
08.00 –10.00
Materi III : “ Dinamika Perkembangan Pemikiran HMI dalam arus Sejarah “ 1. Suharsono
( Kabid.Litbang HMI Cabang Jogja Periode 1987 – 1988 )
2. Mashudi Muqarrobin
(Ketua Umum PB HMI 1990 – 1992 )
3. Syafinudin Al-Mandari
( Ketua Umum PB HMI 2001 – 2003)
10.00 –12.00
Materi IV : “Peran HMI dalam konstalasi sosial politik ” 1. Muzakkir Djabir
( ketua Umum PB HMI Periode 2005-2007)
2. Lukman Hakim Hasan
( ketua Umum PB HMI Periode 2005-2007)
3. Anies Baswedan
( Rektor Paramadina dan Pengamat Politik )
12.00 –13.00 ISHOMA
13.00 –15.00 Materi V : “HMI dalam Perspektif Gerakan Mahasiswa“ 1.Said Tuhuleley
( Ketua Dema IKIP Yogyakarta 1977 )
2. Cahyo Pamungkas
( Ketua Umum PB HMI 2003 – 2005 )
3. Makmuralto
( Penulis Buku dalam Diam Kita Tertindas serta pengurus besar HMI periode 2007-2009 )
15.00 –15.30 ISHO
15.30 –17.30 Lanjutan materi V
17.30 –19.30 ISHOMA
19.30 –23.30 Materi VI : “ Sejarah Perkaderan HMI “ 1. Masauf Halili
( Ketua KPC Cabang Yogyakarta Periode 1984 - 1986 )
2. Jamal Pasolongi
( Pengurus Badtim Periode 2000 – 2002)
3. M. Mahlani
( Kabid Perkaderan PB HMI 97 – 99 )
23.30 –24.00 Rangkuman materi III - VI
24.00 - Istirahat
HARI IV : AHAD 04 MEI 2008
07.00 –08.00 Checking peserta
08.00 –12.00 Materi VII : “ HMI dalam kemelut Azas Tunggal “ 1. Drs. Sulhan Yusuf
( Ketua Umum HMI Cabang Mks Periode 1984 – 1985 )
2. M.Chaeron AR
( Ketua Umum Cabang Yogyakarta Periode 1985 – 1986 )
12.00 –13.00 ISHOMA
13.00 –15.00 Pembagian Kelompok kerja dalam Bentuk Komisi – Komisi:
komisi I : Materi I Fasilitator
Komisi II : Materi II & III Fasilitator
Komisi III : Materi IV&V Fasilitator
Komisi IV : Materi VI Fasilitator
Komisi V : Materi VII Fasilitator
15.00 –15.30 ISHO
15.30 –17.30 Lanjutan pembahasan komisi Panitia
17.00 –19.00 ISHOMA
19.00 –24.00 Pleno Komisi – Komisi Fasilitator
Penutupan


TOR SIMPOSIUM NASIONAL SEJARAH HMI


A. Latar Pemikiran
Membicarakan sejarah merupakan topik menarik untuk selalu dan terus diungkapkan serta di perdebatkan. Disebut menarik diungkapkan karena selalu saja memberikan pengetahuan baru terkait fenomena yang akan maupun telah terjadi, sementara sejarah menarik untuk diperdebatkan karena selalu saja dalam pengungkapannya memunculkan berbagai perbedaan pandangan terhadap sebuah kejadian. Ditengah pengungkapan fakta – fakta sejarah pun tidak sedikit kita temukan berbagai informasi yang terkadang kebenarannya sangat diragukan, sebab dalam penulisan sebuah sejarah biasanya semua orang memiliki otoritas memasukkan informasi sesuai dengan apa yang diinginkan, disamping perbedaan persepsi yang bersifat subyektif dalam merekonstruksi fakta sejarah. Bila tidak hati – hati bisa jadi yang kita ungkapkan tentang sejarah bukan fakta obyektif kejadian sejarah itu sendiri, namun persepsi kita terhadap kejadian sejarah dalam bentuk rekonstruksi ulang terhadap fakta – fakta sejarah tersebut. Untuk itulah dalam menyikapi beberapa teks yang berkaitan dengan penulisan sejarah perlu dilakukan pengkajian serta penelitian secara mendalam, agar semua ungkapan didalam teks sejarah tersebut terhindar dari kekeliruan.
Secara umum orang memberikan pengertian tentang sejarah adalah merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada masa lalu berupa keterangan - keterangan. Peristiwa – peristiwa tersebut diungkapkan dengan cara dan gaya yang berbeda – beda, ada yang menyusunnya secara kronologis, dimana peristiwa tersebut dipahami secara berurutan, Ada juga yang menyusunnya berdasarkan temuan – temuan yang dianggap penting untuk di ungkapkan, dimana orientasi penyusunannya berdasarkan masalah – masalah penting. Dalam pengertiannya yang lebih berkembang banyak dari berbagai kalangan ingin menempatkan sejarah tidak lagi hanya dipahami sebagai urutan fakta – fakta, namun harus bisa di maknai sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup, memberikan pandangan masa depan serta melakukan koreksi evaluatif terhadap masa lalu. Perbedaan cara mengungkapkan sejarah inilah menjadi salah satu pembeda ketajaman dalam mengungkapkan serta menuliskan sejarah. Disamping cara pengungkapan juga penulisan sejarah tidak bisa terlepas dari penilaian subyektif penulis. Kondisi psikologis, perasaan sampai pada kualitas diri saat menulis sejarah menjadi factor tersendiri mempengaruhi kualitas penulisan sejarah.
HMI sebagai organisasi kader sekaligus perjuangan tentunya memiliki proses panjang kesejarahannya. Peristiwa perjuangan ditengah awal kelahiran sampai keberadaannya saat ini adalah menjadi bukti bahwa HMI telah melalui sebuah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Ditengah perjalanannya tersebut pasti terdapat beragam dinamika, baik terjadi diantara kader sendiri yang mempengaruhi perubahan internal HMI, maupun HMI sebagai institusi berinteraksi dengan lingkungan diluarnya. Melihat berbagai sudut pandang dari proses kesejarahan HMI selama ini, selalu memunculkan beragam penafsiran dalam penulisan sejarah HMI. Ada yang melihat sejarah HMI lebih dominan pada peran – peran politik, dengan mengaitkan perjalanan HMI ditengah perubahan politik Indonesia. Ada juga menceritakan sejarah HMI lebih pada sisi perkembangan pemikiran yang terjadi di internal organisasi. Atau lebih khusus lagi ada juga yang menempatkan kesejarahan HMI hanya pada satu peristiwa khusus saja, dimana peristiwa tersebut dianggap sebagai dinamika terpenting dalam perjalanan organisasi.
Mengungkapkan sejarah HMI yang paling dominan saat ini adalah menjadikan periodisasi politik Indonesia sebagai latar dalam menceritakan berbagai dinamika organisasi. Mulai dari orde lama, orde baru sampai reformasi saat ini. Hal ini masing - masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya selalu menempatkan kehadiran HMI dalam berbagai situasi perubahan politik Nasional, meskipun dalam hal ini peran HMI direduksi lagi menjadi peran para tokoh – tokoh alumni HMI, sementara kader maupun alumni HMI yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan tidak terlalu banyak diungkapkan. Kelemahannya memunculkan anggapan bahwa kehadiran HMI menjadi akibat dari perkembangan periodesasi politik tersebut, fakta – fakta bahwa HMI memiliki garis kesejarahan yang independent, bebas berinteraksi terhadap berbagai dinamika perubahan diluarnya seolah tidak begitu lugas diungkapkan. Disamping latar dinamika politik, ada juga cara mengungkapkan latar kesejarahan HMI pada sisi dinamika pemikiran, perkembangan organisasi maupun lainnya, namun masih sangat minim kita temukan.
Symposium sejarah HMI kali ini adalah sebagai forum untuk melihat sejarah HMI dari berbagai sudut pandang, mulai dari peran dinamika sosial politik, dinamika diantara gerakan mahasiswa, posisi ditengan umat islam, perkembangan pemikiran keislaman, dinamika perkaderan internal, sampai pengungkapan sejarah lokal masing – masing cabang HMI. Menghadirkan berbagai sudut pandang kesejarahan HMI menjadi penting, sebagaimana diungkapkan Ibnu Khaldun dalam muqaddimah memahami hakikat sejarah, terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran ( tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab – sebab terjadinya peristiwa. Tepat bila kesejarahan HMI senada dengan ungkapan ini yaitu dalam rangka mencari kebenaran dengan selalu memahami masa lalu secara kritis agar memiliki pegangan dan pedoman menjalani masa depan.
B. Bentuk Kegiatan
o Diskusi Panel interaktif
o Pembahasan dalam bentuk komisi – komisi kerja
o Presentasi makalah sejarah lokal HMI di sampaikan HMI cabang masing – masing
C. Waktu dan tempat pelaksanaan
Aula MAN MODEL Makassar, Kamis – Ahad / 01-04 Mei 2007
D. Peserta
Peserta symposium adalah kader HMI yang merupakan delegasi dari cabang HMI se-Indonesia, dimana peserta yang didelegasikan minimal memiliki pengetahuan serta penguasaan terhadap sejarah HMI.
E. Instruksi Umum
Seluruh peserta delegasi cabang sebelum mengikuti forum sebisa mungkin sudah menentukan focus pilihan pada salah satu komisi kerja
a. Sebisa mungkin peserta sudah membuat kerangka gagasan
b. Setelah selesai forum symposium akan dibentuk Team kerja yang diberi mandate untuk menyusun sejarah HMI
F. Instruksi Khusus
a. Dimasing – masing cabang diharuskan menyusun sejarah cabangnya. Dari hasil penyusunan akan diberi kesempatan untuk mempresentasikan dalam forum symposium.
b. Muatan secara garis besar penyusunan sejarah local di masing – masing cabang meliputi :
1. Latar belakang pendirian
2. Dinamika Internal Cabang
3. Dinamika pemikiran
4. Situasi perguruan tinggi dan kemahasiswaan (dinamika gerakan mahasiswa )
5. Dinamika perkaderan
6. Perkembangan Jaringan
G. Penanggung jawab dan Pelaksana
HMI Cabang Makassar sebagai penanggung jawab serta HMI cabang Makassar sebagai pelaksana kegiatan symposium sejarah
H. Konstribusi Peserta
- Rp. 50.000,- / Orang
I. Penutup
Demikian TOR simposium sejarah HMI disusun dalam rangka melakukan rekonstruksi kembali perjalanan HMI ditengah arus sejarah dari berbagai perspektif. Semoga kegiatan ini dapat berjalan lancar serta lebih penting lagi dinilai sebagai ibadah disisi Allah Swt dalam rangka mencari kebenaran. Amien
Billahi Taufiq Wal Hidayah
Assalamu Alaikum. Wr.Wb
Makassar, 05 Rabiul Awal 1429 H
13 Maret 2008 M




Sabtu, 09 Februari 2008

Pelantikan HMI Cabang Makassar dan Milad HMI ke 61

(Asranuddin Patoppoi)

Makassar(HMI News Makassar)- Pelantikan HMI Cabang Makassar periode 2007-2008M/1428-1429H pada hari Sabtu(9/2/2008) bertempat di Aula Gedung Perpustakaan Multimedia Lagaligo Makassar. Acara pelantikan tersebut dirangkaikan dengan milad HMI yang ke 61 serta seminar politik.

Dihadapan sekitar seratusan undangan yang terdiri dari warga HMI, undangan jaringan dan alumni HMI, Ketua Umum terpilih HMI Cabang Makassar, Bahtiar Ali Rambangeng beserta jajarannya dilantik sebagai pengurus HMI Cabang Makassar periode 2007-2008 oleh Surahmat, wakil sekjend PB HMI.

Dalam sambutannya, Bahtir Ali Rambangeng, mengajak warga HMI dan elemen-elemn gerakan sosial untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya proses demokrasi yang berjalan di Indonesia dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk dominasi kapitalisme-neoliberal di Indonesia. Secara khusus, Bahtiar menekankan kepada warga HMI untuk megevaluasi peran-peran HMI. “Dalam usia HMI yang ke 61 ini, kita harus mengevaluasi secara mendalam, sampai sejauh mana kiprah HMI di kampus-kampus dan di masyarakat secara umum, apakah HMI masih dapat menjadi bagian dari gerakan social yang mampu memberikan solusi-solusi atas problematika yang sedang dihadapi oleh bangsa ini.” Tegas Ali Rambangeng mengakhiri sambutannya.

Seusai acara pelantikan, acara dilanjutkan dengan seminar yang bertema Indonesia: Dalam Krisis Legitimasi Demokrasi. Acara diskusi tersebut diagendakan untuk menghadirkan pembicara seperti Prof. Dr. Qasim Matthar, H. Tamsil Linrung, Dr Muh. Kausar Bailusi, dan Alto Makmuralto, namun keempat pembicara tersebut tidak bisa hadir karena kesibukan dan agenda yang mendadak, akhirnya pembicara digantikan oleh Sirajuddin (anggota DPRD Bantaeng), Muzakkir Djabir (mantan Ketua Umum PB HMI) dan Surakhmat, S. Kom (Wakil Sekjend PB HMI).

Menurut pemateri, bahwa secara umum proses demokrasi di Indonesia, masih sebatas demokrasi prosuderal yang masih jauh dari substansi demokrasi. Pembicara pertama, Sirajuddin yang juga sebagai anggota DPRD Bantaeng menekankan bahwa kepemimpinan didaerah-daerah harus cerdas dan memiliki komitmen kerakyatan dengan membuat regulasi-regulasi yang pro terhadap kepentingan rakyat, semisal anggran pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan RAPBD. Alumni HMI (MPO) ini juga menekaknkan pentingnya pendidikan politik kepada rakyat. Menurutnya masyarakat harus cerdas dalam menghasapi momentum demokrasi seperti pilkada, pemilu agar natinya rakyat dapat memberikan hak suaranya tanpa harus menjual suaranya kepada elit-elit politik yang bayak dipraktekkan dalam prosesi demokrasi.

Sementara pembicara kedua, Muzakkir Djabir menilai bahwa system yang hadir di Indonesia merupakan hasil dari ledakan social, sehingga tidak ada desain pembangunan yang terarah dengan baik. Ia juga melihat ada indikasi oligarki pilitik yang didominasi oleh pemodal-pemodal sehingga kepentingan-kepentingan rakyat cenderung di abaikan. Ini terindikasi dengan maraknya praktek politik dagang sapi yang dilakukan oleh legislative-eksekutif dalam memutuskan sebuah kebijakan Lebih lanjut ia menilai bahwa institusi-institusi demokrasi seperti partai politik gagal melakukan proses pencerdasan politik terhadap kader-kadernya. Bahkan tidak hanya institusi politik resmi, simpul simpul cultural, ormas-ormas, bahkan lembaga agama pun dinilainya gagal dalam menghadirkan sosok pemimpin yang mempunyai integritas yang tinggi. Tetapi ia berharap institusi politik, kelompok-kelompok cultural, organisasi, ormas-ormas harus memainkan peran-peran politik yang baik untuk mengawal proses demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia. Dengan demikian perlu membenahi secara sistematis simpul-sipul demokrasi tersebut.

Pembicara ketiga, Surakhmat, yang menekankan penguatan civil society. Masyarakat sipil harus membuat asosiasi-sosiasi untuk penyadaran dan penalaran politik, karena dengan menguatnya masyarakat sipil diharapkan dapat menjadi balance dan kelompok preassure sekaligus sebagai pengontrol terhadap jalannya demokrasi yang dapat mempengaruhi gerak politik. Lebih lanjut ia mengatakan diperlukan perakayasaan intelektual dikalangan grass root agar institusi sipil dapat melakukan pemecahan masalah terhadap problem-problem yang dihadapinya.

Seusai acara seminar, pengurus HMI Cabang Makassar kembali melanjutkan agendanya di kawasan Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa. Raker HMI Cabang Makassar tersebut berakhir pada hari Minggu Siang dengan menghasilkan program-program kerja yang diharapkan mampu untuk mengtasi persoalan-persoalan internal HMI Cabang Makassar dan kiprah HMI Cabang Makassar di internal kampus dan masyarakat.




Kapitalisme Neoliberalisme dan Agenda Perlawanan ke(Mahasiswa)an

(sebuah ikhtiar untuk Penguatan Karakter Lembaga kemahasiswaan dan konsolidasi Gerakan Sosial Baru untuk pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan)
*) Asranuddin Patoppoi

Organisasi sebagai alat perlawanan
Sebelum lebih jauh, baiknya kita mendefenisikan terminologi gerakan, terkadang ketika menyebut nama gerakan, maka arah pikiran kita adalah aksi ekstra parlementer, pemogokan massal, pawai, unjuk massa, dll. Defenisi tersebut tidak tepat, karena hanya didefenisikan dari satu sisi gerakan itu sendiri. Gerakan didefenisikan sebagai usaha-usaha untuk melakukan perubahan kondisi menjadi lebih baik/ kondisi idealitas yang melibatkan keseluruhan potensi actual seseorang atau kelompok seperti intelektualitas, emosional dan kekuatan pisik Organisasi merupakan merupakan sebuah alat dan pilihan strategis untuk melakukan gerakan, dengan demikian gerakan akan lebih booming ketika dilakukan secara berkelompok dan setiap gerakan akan berhasil jika ditopang oleh sebuah wadah organisasi yang rapi, tersistematis dan konsisten menjalankan tujuan-tujuan organisasi. Pada dasarnya tujuan organisasi merupakan sebuah cita ideal yang dirumuskan secara bersama yang melibatkan intelektualitas dan emosional sehingga pengawalan dengan ketat cita-cita itu adalah merupakan sebuah keharusan dan kemuliaan bagi aparatusnya.

Dalam konteks gerakan kemahasiswaan, lembaga intra universiter merupakan salah satu wadah yang strategis dalam melakukan gerakan-gerakan. Ada beberapa hal yang mendasari, kenapa penulis mengatakan demikian, pertama potensi intelektualitas. Intelektualitas merupakan salah satu yang urgen dalam gerakan, karena meyangkut perumusan tujuan, strategi dan taktik gerakan secara makro. Kedua, pola pikir yang kritis. Sebuah pola pikir yang anti establishment merupakan modal gerakan yang paling revolusioner, karena tidak langsung menerima setiap keadaan yang dilihat dan dirasakannya. Sebuah pola pikir-mencantol pikiran Paulo Praire- yang melewati kesadaran magis dan kesadaran naïf. Pola pikir kiritis bukanlah pola pikir budak (baca: mahasiswa apatis) yang ketika melihat dan merasakan penindasan tidak melakukan usaha untuk keluar dari masalah tersebut. Ketiga, radical dalam perubahan. Terminology radical sering mengalami penyempitan makna, yang berasal dari kata radoks, yang berarti akar, jadi radikal itu merupakan sesuatu yang sangat mendalam (pemahaman yang mengakar). Dalam konteks gerakan, maka gerakan radikal adalah gerakan yang sungguh-sungguh memperjuangkan ide-idenya. Kemudian yang ke empat adalah basis massa yang jelas. Kekuatan massa mahasiswa merupakan massa yang relative mudah disentuh melalui pikiran-pikiran sehingga untuk pemobilisasian (dimensi pisik gerakan) relative cepat.
Wadah kemahasiswaan merupakan “salah satu” untuk media gerakan untuk perjuangan hak-hak sipil/rakyat seperti keadilan (politik, hukum, ekonomi), kemanusiaan dan demokrasi dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari sisi ekonomi, politik, social, kebudayaan sampai apek ketahanan/ kekuatan negara. Sengaja saya memblok, memiringkan dan memberi tanda petik, agar diperhatikan dan dilakukan upaya penghayatan terhadap kondisi gerakan kemahasiswaan kekinian, agar tidak terjadi fasisme dan disorientasi dalam tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri. Menurut aku, wadah lembaga kemahasiswaan tidak boleh terlepas dari terminology gerakan. Sehingga segala potensi lembaga-lembaga kemahasiswaan intra (maupun ekstra) diarahkan untuk upaya perbaikan kondisi kekinian yang dialami bangsa ini yang sudah jatuh dari keterpurukan, keambrukan, patologi atau kemabukan social. Dengan demikian karakter diperlukan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan. Ngomong masalah karakter, maka berbicara tentang identitas yang suci yang melekat pada organ atau tubuh manusia. Karakter merupakan suasuatu yang inheren pada kedirian manusia. Dalam terminology Bugis-Makassar (maaf bukan karena primordialisme) kata manusia identik dengan tau. Tau merupakan predikat nilai/karakter pada makhluk yang berakal. Tau mempunyai arti antara niat, ucapan dan tindakan harus sama. Dan sepenjang pengetahuan aku, antara tau dan tai (baca: tinja) itu beda. Karena lembaga kemahasiswaan bukan disi oleh binatang maka lembaga kemahasiswaan diisi oleh karakter-karakter manusia seperti; sikap dan perilaku independensi, intelektual-kritis-solutif, moralitas-spritual. Atau setidaknya pilihan independensi sesuatu yang mutlak pada gerakan. Independensi merupakan terma yang berasal dari kata independent yang berarti merdeka, atau bebas. Jadi independensi adalah suatu sikap yang tidak tergantung pada siapapun (baca : selain Dia). Dalam wilayah gerakan kemahasiswaan berarti bahwa gerakan mahasiswa, termasuk individu mahasiswa merupakan makhluk yang tidak tertikat atau tergantung pada donor/uang, pulsa seseorang atau sekelompok barisan tertentu yang mempunyai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Modal yang kedua adalah gerakan mahasiswa tentunya intelektualitas. Intelektual dalam terminology Ali Syariati adalah insan-insan rausyan fikr atau dalam bahasa Antonio Gramski, intelectual organic yakni intelektual yang berpihak pada kepentingan-kepentingan rakyat. Intelektualitas adalah merupakan milik rakyat yang harus diabdikan kepadanya. Intelektualitas yang mempunyai arah untuk upaya-upaya solutif terhadap perbaikan kondisi yang jauh dari konsepsi idealitas. Yang ketiga adalah sebagai kekuatan atau benteng moralitas. Ketika moralitas para pengambil kebijakan mayoritas bobrok, maka mahasiswa yang diidentifikasi sebuah makhluk yang relative bersih dan terlepas dari kepentingan politik tertentu maka berkewajiban untuk melakukan peringatan terhadap mereka yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pasar (kapitalisme-neoliberal) dan kepentingan golongan.

Kapitalisme-neoliberal (globalisasi)adalah mitos
Perbincangan mengenai neoliberalisme (globalisasi) merupakan bukanlah wacana baru. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini pun bermunculan. Diberbagai media dan ucapan kaum globalis internasional dan domestik dengan berbagai argumentasi menganggap bahwa hanya sistem inilah satu-satunya cara untuk kesejahteraan dunia dan ummat manusia. Tetapi disisi yang lain para aktivis penentang globalisasi ini menganggap bahwa sistem ini tidak lebih dari bentuk baru dari penindasan/penjajahan (neo-kolonialisme). Sejak awal kemunculan globalisasi –dibidang sosial ekonomi--dipandang sebagai keniscayaan untuk kesejahteraan ummat manusia. Tetapi pertanyaan ekonomi-politik yang mesti dijawab adalah “Apakah globalisasi menguntungkan? Kalau ya, menguntungkan siapa dan apakah ada yang menanggung rugi atau membayar biaya globalisasi tersebut? Apakah globalisasi menjamin bahwa satu kelompok negara diuntungkan dan yang lainnya tidak dirugikan?”, “Apakah globalisasi itu memang persaingan bebas, tanpa intervensi negara? Dan yang teakhir adalah bagaimana kita harus memahami sosok globalisasi itu ?
Dalam menjalankan agenda neolib, para globalis dengan sangat yakin bahwa pemenuhan kesejahteraan dunia dan ummat manusia hanyalah dengan tatanan ekonomi-neoliberal, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi harus dipacu, kita tumbuh dahulu, kue menjadi sangat besar, baru dibagikan secara merata. Dengan asumsi demikian maka kita perlu utang luar negeri, perlu modal dengan penanaman modal asing, perlu investasi, dll. Dan dengan keyakinan adaya mekanisme nenetes kebawah (trickle down effec), bahwa setelah para pelaku-pelaku aktif dari eknomi ini telah berhasil baru kekayaan tersebut didistribusi kerakyat. Dan perlu diingat bahwa utang tersebut adalah milik rakyat, jadi harus rakyat yang bayar. Alhasil, sangat sedikit yang dinikmati oleh rakyat pada masa Orde Baru dan penderitaan rakyat yang dialami hingga sekarang (Awalil Rizky, Agenda Neoliberalisme di Indonesia: 2006). Tetapi yang diuntungkan dalam dalam proses pasar ini adalah hanya bagi para pemilik modal raksasa itu sendiri dan para cukong-cukong kapitalis domestik .
Proses globalisasi ekonomi dan keuangan menggiring semua elemen kehidupan dan pranata-pranata untuk masuk secara langsung atau tidak langsung didalamnya. Acuan seluruh perkembangan institusi dan batasan bidang-bidang sosial ekonomi nasional adalah arah proses globalisasi itu sendiri. Dengan demikian kelihatannya proses globalisasi ini tidak terhindarkan bagi individu, masyarakat dan negara untuk secara mandiri menentukan arah dan strategi pembangunan nasionalnya.
Tetapi proses ini sesungguhnya bukanlah tanpa kendali (Didik J. Rahbini: 2001), karena aktor-aktor global yang menguasai modal seperti TNCs, TMNCs yang mengatur segala aktivitas ekonomi mulai dari prodak-prodak komsumsi, rumah tangga, barang elektronik sampai otomotif. Integrasi kedalam pasar yang semakin dalam dilakukan dengan dominasi lembaga-lembaga keuangan, investasi dana, dan pialang dibursa dalam sistem ekonomi dan mempengaruhi sistem keuangan suatu negara. Pada dimensi inilah globalisasi menyentuh sistem dan istitusi negara, dan dapat mensubordinasi sistem sosial politik suatu negara, institusi parlemen, kepresidenan, dll yang dengan mudahnya dipengaruhi oleh proses globalisasi.
Gagasan-gagasan pokok dari neoliberalisme adalah, pengembangan kebebasan individu untuk bersaing dipasar, pengakuan kepemilikan pribadi terhadap sektor-sektor produksi dan jasa, penertiban agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan beberapa agenda-agendanya seperti liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja negara (pengurangan dan penghapusan subsidi), dan privatisasi BUMN, dll. Jadi disini peranan negara menjadi kerdil/stateless (Eko Prasetyo :2005), negara hanya cukup menjadi wasit yang baik untuk menyaksikan persaingan antara usaha-usaha rakyat dengan para pelaku bisnis internasional yang berkalobarasi dengan pebisnis domestik yang mempunyai modal yang besar. Gagasan dan agenda tersebut agar dapat berjalan dengan lancar, maka mereka melakukan dengan cara yang sangat halus dengan pertama, melaui penjelasan akademis tentang keuntungan-keuntungan yang diperoleh ketika kita berintegrasi dengan pasar sampai pada bantuan teknis termasuk pelatihan-pelatihan sistem ekonomi pasar seperti yang telah dilakukan oleh ekonom barkeley atau mafia poros Washinton (Awalil Rizky: 2006). Kedua, pendiktean kebijakan yang harus dijalankan negara sedang berkembang (NSB) seperti perundang-undangan atau perpres (UU Migas, UU pengelolaan sumber daya Alam, perpres 36/2006, dll), dll yang disepakati melalui perjanjian dengan IMF (Internasional Moneter Fund) yang dikenal dengan LoI (Letter of Intent) dan harus dijalankan sebagai syarat untuk menambah posokan utang untuk pasokan devisa karena akibat krisis keuangan. Dan kesmuanya akan menagrah pada pengecilan peranan negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara sebatas menjadi wasit dalam persaingan, penjamin keamanan, pemberlakuan hukum untuk ketertiban dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan darurat. Pasarlah yang kemudian menetukan tentang apa saja: apa yang diproduksi dan berapa banyak, berapa banyak yang bekerja ini berarti berapa banyak yang harus menganggur, berapa upahnya, dan siapa yang menikmati dari pertumbuhan ekonomi. Dan ini berarti bahwa tidak ada jaminan negara terhadap kondisi yang dialami oleh rakyatnya yang bekerja disektor perburuhan. Yang dijanjikan adalah jika dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semuanya akan sejahtera, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Dan akan bermuara pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat akan diabaikan oleh negara, pendidikan semakin mahal, terjangkau, kebutuhan harga bahan makanan yang melonjak, perumahan yang tidak terjangkau, penggusuran, dll (Eko Prasetyo: 2005).
Gagasan pokok dari kapitalisme-neoliberal berasal dari akar pemikiran tokoh-tokoh filsafat Inggris (Manfred B Stringger, Globalism The New Market Ideologi:2002), seperti Adam Smith (1723-1790) yang mempunyai gagasan tentang homo economicus, berpandangan bahwa masyarakat terdiri dari individu yang bertindak sesuai dengan kepentingan ekonominya dan kegiatan ekonomi dan politik sama sekali terpisah sehingga peranan negara dalam ekonomi akan merusak sistem atau mekanisme pasar. Pasar dengan sendirinya akan mengikuti hukum permintaan dengan penawaran yang disebut mekanisme otomatis (self regulation). David Ricardo (1772-1823) yang berpandangan bahwa perdagangan bebas akan sama-sama menguntungkan, sehingga setiap negara mengkhususkan diri untuk memproduksi barang dan jasa tertentu dan dapat memberi keuntungan komparatif terhadap negara lain yang memproduksi barang dan jasa tertentu yang lain. Ia menambahkan bahwa spesialisasi perdagangan akan tetap meningkat, meskipun suatu negara memiliki keuntungan yang lebih banyak ketika ia dapat memproduksi barang yang beragam. Ini secara politis melahirkan argumen yang sangat kuat untuk membatasi peran negara dalam hal produksi barang dan jasa yang lebih banyak jenisnya, meskipun negara itu mampu secara SDA. Pandangan ketiga dari Herbert Spencer (1820-1903), yang menguatkan teori evolusi seleksi alam Darwin. Ia mengatakan bahwaekonomi pasar merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antar manusia secara alamiah dan menempatkan posisi yang palig kuat sebagai pemenang. Ia pula sebagai pendukung kapitalisme awal yang membatasi tugas negfara hanya untuk melindungi individu dari agresi internal dan eksternal ronrongan dari individu lain. Dari ketiga tokoh tersebutlah lahir tentang gagasan-gagasan sebuah sistem ekonomi yang senantiasa berkembang dengan nama yang berbeda-beda, tetapi tetap mengarah pada pengakumulasian modal pada kelompok tertentu.
Dengan demikian, cara memahami yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan mencermati relasinya dalam konteks historis, kemudian melihat bagian apa saja yang dari masing-masing pengertian tersebut yang tidak mengalami perubahan yang berati. Bisa pula ditarik kesimpulan yang bersifat filosofis tentang pandangan-pandangan dasarnya, jika memahaminya sebgai ide. Atau mengidentifikasi dasar-dasar dari struktur sosial ekonominya, jika melihatnya sebagai sebuah sistem ekonomi dan politik.
Gerakan Mahasiswa, GSB dan kapitalisme-neoliberalisme
Ternyata sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal di Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem penjajahan yang dijalankan oleh kolonialisme yang dijalankan Belanda dan sistem ekonomi pembangunanisme yang dijalankan oleh Orde Baru. Kenapa kita mesti menolak? Ada beberapa alasan, yang pertama bahwa sistem kapitalisme terbukti menguras kekayaan alam kita, hasil kekayaan alam dilarikan keluar negeri, kedua, pengakumualasian modal/ uang hanya pada segelintir orang atau hanya kelompok kapilalis, ketiga, terjadinya persaingan secara bebas antara rakyat dengan pelaku ekonomi negara-negara maju yang ditopang oleh negaranya, sehingga akan mematikan usaha-usaha dalam negeri, keempat, negara tidak mempuyai kedaulatan penuh terhadap penentuan kebijakan, tentunya akan beribas pada, bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD ’45 yang menginginkan kedaulatan ekonomi harus diarahkan pada sistem ekonomi kerakyatan. Jadi ini berarti tidak ada kemandirian atau kedaulatan ekonomi Indonesia. Perubahan dimensi ekonomi politik suatu negara akan segera mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Konsep ekonomi liberal mendorong pola komsumsi yang sangat menggila pada masyarakat (Makmuralto: 2006), sehingga masyarakat hanya dipandang sebagai lahan untuk menjajakan hasil-hasil produksi.
Dengan analisa sederhana bahwa ada tiga kekuatan (birokrasi pemerintahan, elite politik); kekuatan rakyat, modal dan negara. Dalam konsep neoliberalisme negara hanya berfungsi sebagai wasit pasar, justru akan semakin memarginalkan posisis rakyat disatu sisi dan lainnya akan semakin menguntungka modal. Jadi rakyat posisinya tidak terlindingi, hak-haknya tidak diperhatikan oleh negara akhirnya akan berada pada posisi subordinasi, termarginalkan secara struktur.
Dalam proses globalisasi ini kita dapat memetakan sikap-sikap umum, yang pertama penganut. Meraka adalah orang yang secara sadar menggabungkan diri pada proses tersebut, seperti globalis internasional, cukong kapitalis domestik, para pekerja profesional (para bangkir dan ahli-ahli keuangan), kalangan akademisi, atau ekonom yang secara sadar mengakampanyekan kebaikan dan kemanisan neoliberalisasi. Serta kalangan politisi yang in power yang membutuhkan modal untuk mempertahankan kekuasaannya. Kedua, pendukung yang kurang sadar, yakni masyarakat umum minoritas yang bisa survive, pengusaha-pengusaha menengah, yang mendapatkan sedikit keuntungan. Yang ketiga adalah korban, mereka yang dipaksa secara sistematis untuk mendukung, seperti mayoritas rakyat, para buru, petani, pedagang-pedagang kecil, dll. Yang kelima adalah penentang, yang masih bersifat individu dari berbagai kalangan dan secara terorganisir yang baru dalam tahapan embrio perlawanan yang menyadari adanya kesalahan yang dilakukan oleh sistem pasar ini.
Dengan melihat pemaparan diatas, maka posisi gerakan mahasiswa adalah melakukan pembelaan terhadap dominasi kekuatan pasar yang tidak adil dan eksploitatif. Dalam menjalankan agenda perlawanan atau pembelaan mahasiswa terhadap kaum lemah dan terpinggirkan secara sistemik, maka pilihan pilihan strategi dan taktik diperlukan dengan membentuk aliansi-aliansi yang sifatnya ideologis, idealistis, strategis atau taktis dengan berbagai ranah kehidupan dengan bentuk aksi-aksi penetangan terhadap pengurangan atau pencabutan subsidi rakyat, menetang privatisasi BUMN, mengkritisi APBN/ APBD yang pro-pasar, advokasi korban neoliberalis, mengkritisi berbagai peraturan dan perundang-undangan, termasuk rancangannya yang mengarah pada pasar, mempertahankan dan konsisten terhadap pelaksanaan pasal 33 UUD ‘1945, dll.
Maka mau atau tidak ketika mahasiswa sebagai salah satu bagian dari gerakan pembela rakyat, maka dibutuhkan aliansi-aliansi untuk melakukan perlawanan secara massal terhadap neoliberalime. Konsep atau gagasan gerakan sosial baru, bisa menjadi tawaran terhadap perlawanan secara massif tersebut. karena pada dasarnya GSB ini tidak terpatok ideologi, tetapi lebih terbuka terhadap aliansi-aliansi yang sifatnya tidak mengikat dan lintas sektoral geografis, agama, suku, dll yang sepanjang adanya kesadaran bersama bahwa sistem kapitalisme-neolib ini adalah penyebab utama (causa prima) dari kemerosotan sosial, ekonomi dan penderitaan rakyat. Model gerakan GSB yang menekankan pada penguatan cultural dan sesekali melakukan gerakan politik ini berhasil dilakukan dengan baik oleh gerakan rakyat/masyarakat adat Chiapas di Meksiko dan beberapa negara-negar di Amerika Latin, Venezuela, Bolivia, dll yang berhasil mengubah tatanan negara yang sebelumya mengabdi pada Neoliberalisme Sebagai individu gerakan ini meliputi sikap dan cara hidup (life stile) tidak konsumeris dan hedonis atau tidak merasa tergantung pada sesuatu hal yang sifatnya materialis. Kejahatan yang besar dari kapitalisme neoliberal adalah bukan semata-mata karena mereka menindas dan menyengsarakan rakyat tetapi mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara jahat untuk mengeksploitasi rakyat. Pimpinan tetinggi revolisi gerakan Zapatista, Subcomandante Insurgente Marcos (1994) mengatakan bahwa kami tidak ingin orang lain, entah itu kanan, entah tengah, ataukah kiri yang memutuskan nasib kami. Kami ingin berperan langsung dalam putusan-putusan yang mempengaruhi kami, untuk mengontrol mereka yang memerintah kami, tanpa menghiraukan afiliasi politik mereka dan mewajibkan mereka untuk memerintah dengan patuh. Kami berjuang bukan untuk menggulingkan kekuasaan, kami berjuang untuk demokrasi, kebebasan dan keadilan. Adakah elite negara dinegeri ini yang bisa seberani melakukan perlawanan terhadap dominasi kapitalis neoliberal Amerika Serikat dan sekutunya ? seperti yang dilakukan oleh Subcomandante Marcos (Meksiko), Ahmadidenejad (Iran), Moamar Kadafi(Libya), Evo Morales(Bolivia), Hugo Chaves(Venesuela), Videl Castro (Kuba).

*) Kabid PTK HMI Cabang Makassar Periode 2005-2006